Akad Nikah Teknologi Maju
A.
Pengertian
Dalam
hokum Islam syarat sahnya pernikahan adalah akad. Akad nikah adalah dua istilah
yang terdiri dari lafazh akad dan nikah. Akad menrurut bahasa (lughah) ngakhodza – yagkhidzu – ngakhdzan yang berarti mengikat sesuatau
dan juga bisa dikatakan seseorang yang melakukan ikatan. Sedangkan menurut
Al-Zurjani adalah suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sesuatu dengan
adanya ijab dan Kabul.
Sedangkan
nikah menurut Kamal Muchtar dalam pemakian bahasa sehari-hari, perkataan
“nikah” dalam arti sebenarnanya jarang sekali dipakai pada saaat ini. Pada
bagian lain Kamal Muctar juga mengatakan para ahli fiqh mengartikan “nikah”
menurut arti “kiasan”. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka
pakai. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang Imam Asy-syafi’imemakai
arti “mengadakan perjanjian perikatan”.
Dari
pengertian kata akad nikah dan nikah diatas, dapat diambil beberapa rumusan
pengertian akad nikah, yaitu menurut hokum syara’: akad nikah atau perkawinan
adalah suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan persetubuhan dengan
menggunakan lafadz “pernikahan atau mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan
ijab-kabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas serta tidak
terselang oleh pekerjaan lainnya.[1]
Para fuqoha telah sepakat bahwa ijab qabul haruslah bersambung, kecuali fuqoha
Malikiyah. Yang dimaksud bersambung dalam hal ini ialah masih terikat, tidak
keluar dari konteks yang dihadapi. Karena itu dengan melihat ijab qobul dan dan
saksi, maka dapat dipahami mengapa para fuqoha sepakat mensyaratkan akad nikah
itu hendaknya dilakukan dalam satu “majlis”. Artinya, baik wali ataupun yang
mewakilinya, calon suami ataupun yang mewakilinya dan kedua oaring saksi,
semuanya dapat terlibat langsung dalam pelaksaan ijab dan qobul.
Dari
sinilah timbul pertanyaan: Apakah dengan kehadiran suara saja baik ijab untuk
calon suami maupun qobul untuk wali atau mewakili keduanya, dianggap menyimpang
dari pengertian “satu majelis” dalam akad nikah? Disinilah sebenarnya
permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalm kasus nikah via telepon.
Permasalahan lain muncul berikutnya ialah taukil,
yakni mewakilkan dalam nikah.; Apakah suara lewat telepon itu sejajar dengan
kedudukan wakil nikah?
Selain
itu masalah suara yang terdengar lewat telepon apakah betul-betul suara yang
bersangkutan? Artinya suara-suara yang terlibat dalam satu akad nikah. Untuk
mengetahui mengetahui dari siapa suara dalam telepon, sudah barang tentu harus
dilihat dahulu:
1. Antara
kedua belah pihak yang terlibat dalam pembicaraaan terlebih dahulu harus saling
mengenal sebelumnya.
2. Apakah
suara itu langsung atau rekaman, hal ini dapat diuji dengan konteks pembicaraan
antara kedua belah pihak untuk membuktikan keasliaan suara.[2]
B.
Keabsahan Hokum Ijab Qabul Perkawinan Melaui
Teknologi Maju
Perkawinan
melaui teknologi maju telekomunikasi baik melalui telepon maupun video teleconference, dipandang memenuhi
syarat-syarat perkawinana menurut hokum hokum Islam. Permasalahan yang akan
muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan melalui media telekomunikasi,
tidak lain oleh karena menurut hokum Islam dan bebereapa syarat dalam
melaksanakan akad pernikahan dipenuhi yaitu, pertama akad dimulai dari ijab
lalu diikuti dengan qobul, yang kedua materi ijab dan qobul tidak boleh berbeda
dan ijab qobul harus diucapkan secara berkesinambungan tanpa ada jeda, ijab dan
qobul terucap dengan lafadz yang jelas, ijab dan qobul antara calon pengantin
pria dengan wali nikah harus diucapkan dalam satu majelis. Sebaiknya perkawinan
dilakukan apabila dilakukan dalam satu majelis, sehingga menunjang
berkeseimbanagan waktu pengucapanya ijab dan qobul yang merupakan penentu sah
atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini jugaa salah satu kebiasaan warga
Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan perkawinan.
Persoalan “satu Majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sah perkawinan,
tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah lama
dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinanan melalui media telepon atau teleconference tidak diatur dalam
Undang-Undang, artinya diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang hendak
melaksanakan melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara keseimbangan
waktu dan satu majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua)
golongan besar fiqih yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini:
a. Golongan
fiqih pertama dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan Hambali, menafsirkan
keterkaitan antara keseimbangan waktu ndalam satu majelis. Menurut golongan ini
berkesinambungan waktu tidak lain itu pelaksanaan ijab dan qobul yang masih
saling berkaitan dan tidak ada jarak tenggang yang memisahkan keduanya, oleh
sebab itu disaksikan langsung oleh para saksi karena tugasnya untuk memastikan
secara yakin keabsahan ijab dan qobul tersebut secara redaksional maupun
kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa dengan adanya kesinambungan waktu
antara pengucap ijab dan Kabul, maka diperlukan adanya kesatuaan majelis.
b. Golongan
fiqih kedua, dikemukakan oleh Maliki, menafsirkan “berkesinambungan waktu’ itu
dapat diartikan ijab dan qobul tidak menjadi rusak dengan adanya pemisahan
sesaat. Misalnya dengan adanya khutbah sebentar. Jadi dalam hal ini,
pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi peryaratan
perkawinan.
C.
Analisis Hukum Akad Nikah Teknologi Maju
Perkawinan
melalui teknologi telekomunikasi adalah sah. Jik hal tersebut disebabkan akad
nikah pada perkawinan yang dimaksud telah memenuhi rukun dan syarat sah
perkawinan. Mengenai ijab dan qobul yang tidak dilakukan dalam satu majelis
secara fisik mennurt ahli fiqih yaitu Hambali, Hanafi dan Maliki seperti
dijelaskan di atas. Seperti halnya kaidah fiqliyah “al mashaqhotu tajlibultaishiiro” yang artinya kesukaran itu dapat menarik kemudahan.[3]
Dari kaidah fiqliyah tersebut itu dapat ditarik kesimpulan dapa memberikan rukhshah (keringanan) dalam permasalahan ini.
Namun
demikian, pelaksanaan akad via telepon tersebut hendaknya juga jangan dilandasi oleh
helah atu untuk gagah-gagahan apalagi untuk mencari sensasi atau popularitas,
sebab hal itu mengarah kepada ria dan sum’ah, yang keduanya dilarang oleh
agama. Pelaksaan akad nikah via telepon hendaknya dilakukan karena adanya
sebab-sebab khusus yang mengarah kepada kesulitan atau darurat. Misalnya dalam
keadaan terpaksa dimana masing-masing tinggal ditempat yang berjauhan yang
tidak mungkin untuk bertemu dalam satu majelis.[4]
Refensi:
Rokamah, Ridho. Al-qowa’id al-fiqhiyah. Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press, 2010.
Sudrajat, Ajat. Fiqih Aktual. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2008.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar