Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar... Berbagi Tak Akan Rugi: Akad Nikah Teknologi Maju
kumpulan gambar bergerak

Minggu, 24 Juni 2012

Akad Nikah Teknologi Maju


Akad Nikah Teknologi Maju
      A.      Pengertian
Dalam hokum Islam syarat sahnya pernikahan adalah akad. Akad nikah adalah dua istilah yang terdiri dari lafazh akad dan nikah. Akad menrurut bahasa (lughah) ngakhodza – yagkhidzu – ngakhdzan yang berarti mengikat sesuatau dan juga bisa dikatakan seseorang yang melakukan ikatan. Sedangkan menurut Al-Zurjani adalah suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sesuatu dengan adanya ijab dan Kabul.
Sedangkan nikah menurut Kamal Muchtar dalam pemakian bahasa sehari-hari, perkataan “nikah” dalam arti sebenarnanya jarang sekali dipakai pada saaat ini. Pada bagian lain Kamal Muctar juga mengatakan para ahli fiqh mengartikan “nikah” menurut arti “kiasan”. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang Imam Asy-syafi’imemakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”.
Dari pengertian kata akad nikah dan nikah diatas, dapat diambil beberapa rumusan pengertian akad nikah, yaitu menurut hokum syara’: akad nikah atau perkawinan adalah suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz “pernikahan atau mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan ijab-kabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya.[1] Para fuqoha telah sepakat bahwa ijab qabul haruslah bersambung, kecuali fuqoha Malikiyah. Yang dimaksud bersambung dalam hal ini ialah masih terikat, tidak keluar dari konteks yang dihadapi. Karena itu dengan melihat ijab qobul dan dan saksi, maka dapat dipahami mengapa para fuqoha sepakat mensyaratkan akad nikah itu hendaknya dilakukan dalam satu “majlis”. Artinya, baik wali ataupun yang mewakilinya, calon suami ataupun yang mewakilinya dan kedua oaring saksi, semuanya dapat terlibat langsung dalam pelaksaan ijab dan qobul.
Dari sinilah timbul pertanyaan: Apakah dengan kehadiran suara saja baik ijab untuk calon suami maupun qobul untuk wali atau mewakili keduanya, dianggap menyimpang dari pengertian “satu majelis” dalam akad nikah? Disinilah sebenarnya permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalm kasus nikah via telepon. Permasalahan lain muncul berikutnya ialah taukil, yakni mewakilkan dalam nikah.; Apakah suara lewat telepon itu sejajar dengan kedudukan wakil nikah?
Selain itu masalah suara yang terdengar lewat telepon apakah betul-betul suara yang bersangkutan? Artinya suara-suara yang terlibat dalam satu akad nikah. Untuk mengetahui mengetahui dari siapa suara dalam telepon, sudah barang tentu harus dilihat dahulu:
1.      Antara kedua belah pihak yang terlibat dalam pembicaraaan terlebih dahulu harus saling mengenal sebelumnya.
2.      Apakah suara itu langsung atau rekaman, hal ini dapat diuji dengan konteks pembicaraan antara kedua belah pihak untuk membuktikan keasliaan suara.[2]

B.        Keabsahan Hokum Ijab Qabul Perkawinan Melaui Teknologi Maju
Perkawinan melaui teknologi maju telekomunikasi baik melalui telepon maupun video teleconference, dipandang memenuhi syarat-syarat perkawinana menurut hokum hokum Islam. Permasalahan yang akan muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan melalui media telekomunikasi, tidak lain oleh karena menurut hokum Islam dan bebereapa syarat dalam melaksanakan akad pernikahan dipenuhi yaitu, pertama akad dimulai dari ijab lalu diikuti dengan qobul, yang kedua materi ijab dan qobul tidak boleh berbeda dan ijab qobul harus diucapkan secara berkesinambungan tanpa ada jeda, ijab dan qobul terucap dengan lafadz yang jelas, ijab dan qobul antara calon pengantin pria dengan wali nikah harus diucapkan dalam satu majelis. Sebaiknya perkawinan dilakukan apabila dilakukan dalam satu majelis, sehingga menunjang berkeseimbanagan waktu pengucapanya ijab dan qobul yang merupakan penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini jugaa salah satu kebiasaan warga Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan perkawinan. Persoalan “satu Majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sah perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah lama dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinanan melalui media telepon atau teleconference tidak diatur dalam Undang-Undang, artinya diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang hendak melaksanakan melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara keseimbangan waktu dan satu majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua) golongan besar fiqih yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini:
a.       Golongan fiqih pertama dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan Hambali, menafsirkan keterkaitan antara keseimbangan waktu ndalam satu majelis. Menurut golongan ini berkesinambungan waktu tidak lain itu pelaksanaan ijab dan qobul yang masih saling berkaitan dan tidak ada jarak tenggang yang memisahkan keduanya, oleh sebab itu disaksikan langsung oleh para saksi karena tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan qobul tersebut secara redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa dengan adanya kesinambungan waktu antara pengucap ijab dan Kabul, maka diperlukan adanya kesatuaan majelis.
b.      Golongan fiqih kedua, dikemukakan oleh Maliki, menafsirkan “berkesinambungan waktu’ itu dapat diartikan ijab dan qobul tidak menjadi rusak dengan adanya pemisahan sesaat. Misalnya dengan adanya khutbah sebentar. Jadi dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi peryaratan perkawinan.



C.       Analisis Hukum Akad Nikah Teknologi Maju
Perkawinan melalui teknologi telekomunikasi adalah sah. Jik hal tersebut disebabkan akad nikah pada perkawinan yang dimaksud telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan. Mengenai ijab dan qobul yang tidak dilakukan dalam satu majelis secara fisik mennurt ahli fiqih yaitu Hambali, Hanafi dan Maliki seperti dijelaskan di atas. Seperti halnya kaidah fiqliyah “al mashaqhotu tajlibultaishiiro” yang artinya kesukaran itu dapat menarik kemudahan.[3] Dari kaidah fiqliyah tersebut itu dapat ditarik kesimpulan dapa memberikan rukhshah (keringanan) dalam  permasalahan ini. 
Namun demikian, pelaksanaan akad via telepon  tersebut hendaknya juga jangan dilandasi oleh helah atu untuk gagah-gagahan apalagi untuk mencari sensasi atau popularitas, sebab hal itu mengarah kepada ria dan sum’ah, yang keduanya dilarang oleh agama. Pelaksaan akad nikah via telepon hendaknya dilakukan karena adanya sebab-sebab khusus yang mengarah kepada kesulitan atau darurat. Misalnya dalam keadaan terpaksa dimana masing-masing tinggal ditempat yang berjauhan yang tidak mungkin untuk bertemu dalam satu majelis.[4]

Refensi:
Rokamah, Ridho.  Al-qowa’id al-fiqhiyah. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010.
Sudrajat, Ajat. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
Saebani, Beni Ahmad.  Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.



[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 200-201.
[2] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), 92.
[3] Ridho Rokamah, al-qowa’id al-fiqhiyah (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010), 47.
[4] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual, 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar