Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar... Berbagi Tak Akan Rugi: Juni 2012
kumpulan gambar bergerak

Minggu, 24 Juni 2012

Distribusi menurut Muhammad Baqir As-Sadar.


Distribusi menurut Muhammad Baqir As-Sadar.
Sadr membagi distribusi menjadi dua bagian, yakni distribusi sebelum prodoksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post-production distribution). Penjelasan Sadr mengenai hal ini didasarkan pada ajaran atau hukum yang berhubungan dengan  pemilikan dan distributive rights.
1.                  Pre-Production Distribution.
Subab ini membahas distribusi tanah dan sumber daya alam lain yang di istilahkan dengan kekayaan primer. Dalam segi kepemilikan sumber daya alam, Sadr membaginya menjadi empat katagori, yakni: tanah, bahan mentah, sumber daya alam di dalam tanah dan air, serta sumber daya lain (produk laut, sungai, buah-buahan).
 Beberapa hal dalam kepemilikan sumber daya alam:
a)      Pemilikan oleh negara adalah jenis pemilikan yang paling sering, meskipun hak pakai dapat diperoleh dari Negara.
b)      Kepemilikan swasta hanya di izinkan di dalam sejumlah kecil keadaan.
c)      Pemilikan swasta hanyalah terbatas pada hak pakai, prioritas penggunaan dan hak untuk mencegah orang lain memakai barang yang sedang dimiliki oleh orang lain.
d)     Untuk mineral dn air, individu diperkenankan untuk menggunakan apa yang mereka perlukan.
Ada dua hal yang dapat dikemukakan berkenaan dengan pandangan Sadr mengenai pemilikan dan hubungannya dengan distributive rights:
1)      masalah revansi.
Katagori Sadr dalam masalah relevensi ini di dasarkan pada masa lampau masa-masa perluasan Islam.
2)      Ukuran tanah yang boleh dipakai:
a) Tanah-tanah swasta akan tetap menjadi tanah swasta selama ada tenaga kerja yang terlibat, yakni selama tanah itu digarap.
b) Hak pakai diberikan sesuai dengan keamanan dan kapasitas mengerjakan
2. Pots-Production Distribtion.
Sadr menyatakan bahwa islam tidak menganggap bahwa semua factor prodiksi (ataupun pemiliknya)itu sama sederajat yakni orang yang melakikan produksi adalah pemilik yang riil dari barang yang dihasilkan. Dan meletakkan manusia sebagai majikan bukan budak produksi. Ada beberapa bentuk distribusi kekayaan / pendapatan yang di atur oleh Islam, sebagai factor produksi, yaitu:
a. sewa atas tanah.
Satu cara efektif agar tanah dapat diolah serta menguntungkan kedua belah pihak. Sewa tanah hanya diperbolehkan jika pemilik tanah telah menanamkan tenaganya sejak awal (misalnya menghidupkan tanah mati).
b. Upah bagi pekerja.
Menurut benham mendefinisakan upah dapat didefinisikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh orang yang memberi pekerja kepada seorang pekerja atas jasanya sesuai dengan perjanjian. Tenaga kerja diberi pilihan antara imbalan tetap (upah) dan imbalan variable (bagian laba). Upah adalah harta yang dibayarkan (imbalan) kepada seseorang atas jerih payahnya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, yang harus diberikan secara adil dan secepatnya.
c. Imbalan atas Modal.
Modal adalah sesuatu yang diharapkan dapat memberikan penghasilan kepada pemiliknya tanpa harus mengambil bunga darinya. Sadr menolak ungkapan 'no risk, no gain' (tak ada resiko, tak ada hasil). Seperti argumen yang di ungkapkan oleh ahli ekonomi Muslim yang mengatakan pemilik modal dalam kontrak mudharabah bisa memperoleh imbalan (return) karena resiko yang ia tanggung. Menurutnya imbalan itu adalah karena adanya kenyataan bahwa mereka mempunyai uang yang sedang digunakan, bukan faktor resiko.
d. Laba bagi perusahaan.
Laba merupakan bagian keuntungan seorang penghusaha sebagai imbalan atas usahanya mengelola perusahaan dengan menggabungkan beberapa faktor produksi untuk mencapai hasil sebanyak-banyaknya, serta membagi keuntungan perusahaan kepada pemilik faktor produksi yang lebih dalam menyelenggarakan
faktor produksi.[1]

Pemikiran Baqir As Sadr Tentang Ekonomi


 Baqir As Sadr
Ide dasar yang pertama dari mahzab ini adalah bahwa terdapat perbedaaan yang mendasar antara ilmu ekonomi dengan Islam, keduanya merupakan sesuatu yang berbeda sama sekali. Ilmu ekonomi adalah ilmu, sementara Islam adalah Islam, tidak ada yang disebut dengan ekonomi Islam. Pendapat ini awalnya didasarkan atas ketidak setujuanya tentang definisi dari ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya ekonomi yang terbatas sementara keinginan manusia tidak terbatas. Definisi akan membawa implikasi yang  serius dalam ilmu ekonomi, padahal Islam memiliki pandangan yang sama sekali berbada.
Menurut Baqir As sadr, Islam tidak mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta ini maha luas. Allah telah menciptakan alam semesta yang tiada terhingga luasnya, sehingga jika manusia mampu memanfaatkannya niscaya tidak pernah habis. Saat ini manusia hanya mengeksploitasi sebagian sumber daya ekonomi yang ada dibumi, padahal diluar bumi masih ada planet dan galaksi lain. Dengan kemajuan teknologi, sangat memungkinkan  manusia untuk memfaatkan sumber daya ekonomi yang ada diluar bumi, sehingga kita tidak pernah kekurangan sumber daya. Sebaliknya, justru keinginan manusialah yang sesungguhnya terbatas.
Untuk itu, mazhab ini mengusulkan istilah lain untuk pengganti ekonomi, yaitu iqtishad. Iqtishad berasal dari kata qosada  yang berarti setara, selaras atau seimbang. Dengan demikian, Iqtishad tidaklah sama dengan pengertian ekonomi.dan bukan sekedar terjemahan  dari kata ekonomi dalam bahasa arab. Penggunaaan kata Istiqhad ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dasar yang dialami oleh masyarakat, yaitu distribusi sumber daya ekonomi yang tidak merata, dimana terdapat kelompok yang sedemikiaan kaya dan kelompok miskin yang sedemikian miskin. [1]


[1] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), 89-90.

Akad Nikah Teknologi Maju


Akad Nikah Teknologi Maju
      A.      Pengertian
Dalam hokum Islam syarat sahnya pernikahan adalah akad. Akad nikah adalah dua istilah yang terdiri dari lafazh akad dan nikah. Akad menrurut bahasa (lughah) ngakhodza – yagkhidzu – ngakhdzan yang berarti mengikat sesuatau dan juga bisa dikatakan seseorang yang melakukan ikatan. Sedangkan menurut Al-Zurjani adalah suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sesuatu dengan adanya ijab dan Kabul.
Sedangkan nikah menurut Kamal Muchtar dalam pemakian bahasa sehari-hari, perkataan “nikah” dalam arti sebenarnanya jarang sekali dipakai pada saaat ini. Pada bagian lain Kamal Muctar juga mengatakan para ahli fiqh mengartikan “nikah” menurut arti “kiasan”. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang Imam Asy-syafi’imemakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”.
Dari pengertian kata akad nikah dan nikah diatas, dapat diambil beberapa rumusan pengertian akad nikah, yaitu menurut hokum syara’: akad nikah atau perkawinan adalah suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz “pernikahan atau mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan ijab-kabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya.[1] Para fuqoha telah sepakat bahwa ijab qabul haruslah bersambung, kecuali fuqoha Malikiyah. Yang dimaksud bersambung dalam hal ini ialah masih terikat, tidak keluar dari konteks yang dihadapi. Karena itu dengan melihat ijab qobul dan dan saksi, maka dapat dipahami mengapa para fuqoha sepakat mensyaratkan akad nikah itu hendaknya dilakukan dalam satu “majlis”. Artinya, baik wali ataupun yang mewakilinya, calon suami ataupun yang mewakilinya dan kedua oaring saksi, semuanya dapat terlibat langsung dalam pelaksaan ijab dan qobul.
Dari sinilah timbul pertanyaan: Apakah dengan kehadiran suara saja baik ijab untuk calon suami maupun qobul untuk wali atau mewakili keduanya, dianggap menyimpang dari pengertian “satu majelis” dalam akad nikah? Disinilah sebenarnya permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalm kasus nikah via telepon. Permasalahan lain muncul berikutnya ialah taukil, yakni mewakilkan dalam nikah.; Apakah suara lewat telepon itu sejajar dengan kedudukan wakil nikah?
Selain itu masalah suara yang terdengar lewat telepon apakah betul-betul suara yang bersangkutan? Artinya suara-suara yang terlibat dalam satu akad nikah. Untuk mengetahui mengetahui dari siapa suara dalam telepon, sudah barang tentu harus dilihat dahulu:
1.      Antara kedua belah pihak yang terlibat dalam pembicaraaan terlebih dahulu harus saling mengenal sebelumnya.
2.      Apakah suara itu langsung atau rekaman, hal ini dapat diuji dengan konteks pembicaraan antara kedua belah pihak untuk membuktikan keasliaan suara.[2]

B.        Keabsahan Hokum Ijab Qabul Perkawinan Melaui Teknologi Maju
Perkawinan melaui teknologi maju telekomunikasi baik melalui telepon maupun video teleconference, dipandang memenuhi syarat-syarat perkawinana menurut hokum hokum Islam. Permasalahan yang akan muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan melalui media telekomunikasi, tidak lain oleh karena menurut hokum Islam dan bebereapa syarat dalam melaksanakan akad pernikahan dipenuhi yaitu, pertama akad dimulai dari ijab lalu diikuti dengan qobul, yang kedua materi ijab dan qobul tidak boleh berbeda dan ijab qobul harus diucapkan secara berkesinambungan tanpa ada jeda, ijab dan qobul terucap dengan lafadz yang jelas, ijab dan qobul antara calon pengantin pria dengan wali nikah harus diucapkan dalam satu majelis. Sebaiknya perkawinan dilakukan apabila dilakukan dalam satu majelis, sehingga menunjang berkeseimbanagan waktu pengucapanya ijab dan qobul yang merupakan penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini jugaa salah satu kebiasaan warga Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan perkawinan. Persoalan “satu Majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sah perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah lama dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinanan melalui media telepon atau teleconference tidak diatur dalam Undang-Undang, artinya diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang hendak melaksanakan melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara keseimbangan waktu dan satu majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua) golongan besar fiqih yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini:
a.       Golongan fiqih pertama dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan Hambali, menafsirkan keterkaitan antara keseimbangan waktu ndalam satu majelis. Menurut golongan ini berkesinambungan waktu tidak lain itu pelaksanaan ijab dan qobul yang masih saling berkaitan dan tidak ada jarak tenggang yang memisahkan keduanya, oleh sebab itu disaksikan langsung oleh para saksi karena tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan qobul tersebut secara redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa dengan adanya kesinambungan waktu antara pengucap ijab dan Kabul, maka diperlukan adanya kesatuaan majelis.
b.      Golongan fiqih kedua, dikemukakan oleh Maliki, menafsirkan “berkesinambungan waktu’ itu dapat diartikan ijab dan qobul tidak menjadi rusak dengan adanya pemisahan sesaat. Misalnya dengan adanya khutbah sebentar. Jadi dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi peryaratan perkawinan.



C.       Analisis Hukum Akad Nikah Teknologi Maju
Perkawinan melalui teknologi telekomunikasi adalah sah. Jik hal tersebut disebabkan akad nikah pada perkawinan yang dimaksud telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan. Mengenai ijab dan qobul yang tidak dilakukan dalam satu majelis secara fisik mennurt ahli fiqih yaitu Hambali, Hanafi dan Maliki seperti dijelaskan di atas. Seperti halnya kaidah fiqliyah “al mashaqhotu tajlibultaishiiro” yang artinya kesukaran itu dapat menarik kemudahan.[3] Dari kaidah fiqliyah tersebut itu dapat ditarik kesimpulan dapa memberikan rukhshah (keringanan) dalam  permasalahan ini. 
Namun demikian, pelaksanaan akad via telepon  tersebut hendaknya juga jangan dilandasi oleh helah atu untuk gagah-gagahan apalagi untuk mencari sensasi atau popularitas, sebab hal itu mengarah kepada ria dan sum’ah, yang keduanya dilarang oleh agama. Pelaksaan akad nikah via telepon hendaknya dilakukan karena adanya sebab-sebab khusus yang mengarah kepada kesulitan atau darurat. Misalnya dalam keadaan terpaksa dimana masing-masing tinggal ditempat yang berjauhan yang tidak mungkin untuk bertemu dalam satu majelis.[4]

Refensi:
Rokamah, Ridho.  Al-qowa’id al-fiqhiyah. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010.
Sudrajat, Ajat. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
Saebani, Beni Ahmad.  Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.



[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 200-201.
[2] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), 92.
[3] Ridho Rokamah, al-qowa’id al-fiqhiyah (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010), 47.
[4] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual, 93.