Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar... Berbagi Tak Akan Rugi
kumpulan gambar bergerak

Minggu, 24 Juni 2012

Distribusi menurut Muhammad Baqir As-Sadar.


Distribusi menurut Muhammad Baqir As-Sadar.
Sadr membagi distribusi menjadi dua bagian, yakni distribusi sebelum prodoksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post-production distribution). Penjelasan Sadr mengenai hal ini didasarkan pada ajaran atau hukum yang berhubungan dengan  pemilikan dan distributive rights.
1.                  Pre-Production Distribution.
Subab ini membahas distribusi tanah dan sumber daya alam lain yang di istilahkan dengan kekayaan primer. Dalam segi kepemilikan sumber daya alam, Sadr membaginya menjadi empat katagori, yakni: tanah, bahan mentah, sumber daya alam di dalam tanah dan air, serta sumber daya lain (produk laut, sungai, buah-buahan).
 Beberapa hal dalam kepemilikan sumber daya alam:
a)      Pemilikan oleh negara adalah jenis pemilikan yang paling sering, meskipun hak pakai dapat diperoleh dari Negara.
b)      Kepemilikan swasta hanya di izinkan di dalam sejumlah kecil keadaan.
c)      Pemilikan swasta hanyalah terbatas pada hak pakai, prioritas penggunaan dan hak untuk mencegah orang lain memakai barang yang sedang dimiliki oleh orang lain.
d)     Untuk mineral dn air, individu diperkenankan untuk menggunakan apa yang mereka perlukan.
Ada dua hal yang dapat dikemukakan berkenaan dengan pandangan Sadr mengenai pemilikan dan hubungannya dengan distributive rights:
1)      masalah revansi.
Katagori Sadr dalam masalah relevensi ini di dasarkan pada masa lampau masa-masa perluasan Islam.
2)      Ukuran tanah yang boleh dipakai:
a) Tanah-tanah swasta akan tetap menjadi tanah swasta selama ada tenaga kerja yang terlibat, yakni selama tanah itu digarap.
b) Hak pakai diberikan sesuai dengan keamanan dan kapasitas mengerjakan
2. Pots-Production Distribtion.
Sadr menyatakan bahwa islam tidak menganggap bahwa semua factor prodiksi (ataupun pemiliknya)itu sama sederajat yakni orang yang melakikan produksi adalah pemilik yang riil dari barang yang dihasilkan. Dan meletakkan manusia sebagai majikan bukan budak produksi. Ada beberapa bentuk distribusi kekayaan / pendapatan yang di atur oleh Islam, sebagai factor produksi, yaitu:
a. sewa atas tanah.
Satu cara efektif agar tanah dapat diolah serta menguntungkan kedua belah pihak. Sewa tanah hanya diperbolehkan jika pemilik tanah telah menanamkan tenaganya sejak awal (misalnya menghidupkan tanah mati).
b. Upah bagi pekerja.
Menurut benham mendefinisakan upah dapat didefinisikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh orang yang memberi pekerja kepada seorang pekerja atas jasanya sesuai dengan perjanjian. Tenaga kerja diberi pilihan antara imbalan tetap (upah) dan imbalan variable (bagian laba). Upah adalah harta yang dibayarkan (imbalan) kepada seseorang atas jerih payahnya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, yang harus diberikan secara adil dan secepatnya.
c. Imbalan atas Modal.
Modal adalah sesuatu yang diharapkan dapat memberikan penghasilan kepada pemiliknya tanpa harus mengambil bunga darinya. Sadr menolak ungkapan 'no risk, no gain' (tak ada resiko, tak ada hasil). Seperti argumen yang di ungkapkan oleh ahli ekonomi Muslim yang mengatakan pemilik modal dalam kontrak mudharabah bisa memperoleh imbalan (return) karena resiko yang ia tanggung. Menurutnya imbalan itu adalah karena adanya kenyataan bahwa mereka mempunyai uang yang sedang digunakan, bukan faktor resiko.
d. Laba bagi perusahaan.
Laba merupakan bagian keuntungan seorang penghusaha sebagai imbalan atas usahanya mengelola perusahaan dengan menggabungkan beberapa faktor produksi untuk mencapai hasil sebanyak-banyaknya, serta membagi keuntungan perusahaan kepada pemilik faktor produksi yang lebih dalam menyelenggarakan
faktor produksi.[1]

Pemikiran Baqir As Sadr Tentang Ekonomi


 Baqir As Sadr
Ide dasar yang pertama dari mahzab ini adalah bahwa terdapat perbedaaan yang mendasar antara ilmu ekonomi dengan Islam, keduanya merupakan sesuatu yang berbeda sama sekali. Ilmu ekonomi adalah ilmu, sementara Islam adalah Islam, tidak ada yang disebut dengan ekonomi Islam. Pendapat ini awalnya didasarkan atas ketidak setujuanya tentang definisi dari ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya ekonomi yang terbatas sementara keinginan manusia tidak terbatas. Definisi akan membawa implikasi yang  serius dalam ilmu ekonomi, padahal Islam memiliki pandangan yang sama sekali berbada.
Menurut Baqir As sadr, Islam tidak mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta ini maha luas. Allah telah menciptakan alam semesta yang tiada terhingga luasnya, sehingga jika manusia mampu memanfaatkannya niscaya tidak pernah habis. Saat ini manusia hanya mengeksploitasi sebagian sumber daya ekonomi yang ada dibumi, padahal diluar bumi masih ada planet dan galaksi lain. Dengan kemajuan teknologi, sangat memungkinkan  manusia untuk memfaatkan sumber daya ekonomi yang ada diluar bumi, sehingga kita tidak pernah kekurangan sumber daya. Sebaliknya, justru keinginan manusialah yang sesungguhnya terbatas.
Untuk itu, mazhab ini mengusulkan istilah lain untuk pengganti ekonomi, yaitu iqtishad. Iqtishad berasal dari kata qosada  yang berarti setara, selaras atau seimbang. Dengan demikian, Iqtishad tidaklah sama dengan pengertian ekonomi.dan bukan sekedar terjemahan  dari kata ekonomi dalam bahasa arab. Penggunaaan kata Istiqhad ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dasar yang dialami oleh masyarakat, yaitu distribusi sumber daya ekonomi yang tidak merata, dimana terdapat kelompok yang sedemikiaan kaya dan kelompok miskin yang sedemikian miskin. [1]


[1] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), 89-90.

Akad Nikah Teknologi Maju


Akad Nikah Teknologi Maju
      A.      Pengertian
Dalam hokum Islam syarat sahnya pernikahan adalah akad. Akad nikah adalah dua istilah yang terdiri dari lafazh akad dan nikah. Akad menrurut bahasa (lughah) ngakhodza – yagkhidzu – ngakhdzan yang berarti mengikat sesuatau dan juga bisa dikatakan seseorang yang melakukan ikatan. Sedangkan menurut Al-Zurjani adalah suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sesuatu dengan adanya ijab dan Kabul.
Sedangkan nikah menurut Kamal Muchtar dalam pemakian bahasa sehari-hari, perkataan “nikah” dalam arti sebenarnanya jarang sekali dipakai pada saaat ini. Pada bagian lain Kamal Muctar juga mengatakan para ahli fiqh mengartikan “nikah” menurut arti “kiasan”. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang Imam Asy-syafi’imemakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”.
Dari pengertian kata akad nikah dan nikah diatas, dapat diambil beberapa rumusan pengertian akad nikah, yaitu menurut hokum syara’: akad nikah atau perkawinan adalah suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz “pernikahan atau mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan ijab-kabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya.[1] Para fuqoha telah sepakat bahwa ijab qabul haruslah bersambung, kecuali fuqoha Malikiyah. Yang dimaksud bersambung dalam hal ini ialah masih terikat, tidak keluar dari konteks yang dihadapi. Karena itu dengan melihat ijab qobul dan dan saksi, maka dapat dipahami mengapa para fuqoha sepakat mensyaratkan akad nikah itu hendaknya dilakukan dalam satu “majlis”. Artinya, baik wali ataupun yang mewakilinya, calon suami ataupun yang mewakilinya dan kedua oaring saksi, semuanya dapat terlibat langsung dalam pelaksaan ijab dan qobul.
Dari sinilah timbul pertanyaan: Apakah dengan kehadiran suara saja baik ijab untuk calon suami maupun qobul untuk wali atau mewakili keduanya, dianggap menyimpang dari pengertian “satu majelis” dalam akad nikah? Disinilah sebenarnya permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalm kasus nikah via telepon. Permasalahan lain muncul berikutnya ialah taukil, yakni mewakilkan dalam nikah.; Apakah suara lewat telepon itu sejajar dengan kedudukan wakil nikah?
Selain itu masalah suara yang terdengar lewat telepon apakah betul-betul suara yang bersangkutan? Artinya suara-suara yang terlibat dalam satu akad nikah. Untuk mengetahui mengetahui dari siapa suara dalam telepon, sudah barang tentu harus dilihat dahulu:
1.      Antara kedua belah pihak yang terlibat dalam pembicaraaan terlebih dahulu harus saling mengenal sebelumnya.
2.      Apakah suara itu langsung atau rekaman, hal ini dapat diuji dengan konteks pembicaraan antara kedua belah pihak untuk membuktikan keasliaan suara.[2]

B.        Keabsahan Hokum Ijab Qabul Perkawinan Melaui Teknologi Maju
Perkawinan melaui teknologi maju telekomunikasi baik melalui telepon maupun video teleconference, dipandang memenuhi syarat-syarat perkawinana menurut hokum hokum Islam. Permasalahan yang akan muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan melalui media telekomunikasi, tidak lain oleh karena menurut hokum Islam dan bebereapa syarat dalam melaksanakan akad pernikahan dipenuhi yaitu, pertama akad dimulai dari ijab lalu diikuti dengan qobul, yang kedua materi ijab dan qobul tidak boleh berbeda dan ijab qobul harus diucapkan secara berkesinambungan tanpa ada jeda, ijab dan qobul terucap dengan lafadz yang jelas, ijab dan qobul antara calon pengantin pria dengan wali nikah harus diucapkan dalam satu majelis. Sebaiknya perkawinan dilakukan apabila dilakukan dalam satu majelis, sehingga menunjang berkeseimbanagan waktu pengucapanya ijab dan qobul yang merupakan penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini jugaa salah satu kebiasaan warga Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan perkawinan. Persoalan “satu Majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sah perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah lama dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinanan melalui media telepon atau teleconference tidak diatur dalam Undang-Undang, artinya diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang hendak melaksanakan melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara keseimbangan waktu dan satu majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua) golongan besar fiqih yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini:
a.       Golongan fiqih pertama dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan Hambali, menafsirkan keterkaitan antara keseimbangan waktu ndalam satu majelis. Menurut golongan ini berkesinambungan waktu tidak lain itu pelaksanaan ijab dan qobul yang masih saling berkaitan dan tidak ada jarak tenggang yang memisahkan keduanya, oleh sebab itu disaksikan langsung oleh para saksi karena tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan qobul tersebut secara redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa dengan adanya kesinambungan waktu antara pengucap ijab dan Kabul, maka diperlukan adanya kesatuaan majelis.
b.      Golongan fiqih kedua, dikemukakan oleh Maliki, menafsirkan “berkesinambungan waktu’ itu dapat diartikan ijab dan qobul tidak menjadi rusak dengan adanya pemisahan sesaat. Misalnya dengan adanya khutbah sebentar. Jadi dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi peryaratan perkawinan.



C.       Analisis Hukum Akad Nikah Teknologi Maju
Perkawinan melalui teknologi telekomunikasi adalah sah. Jik hal tersebut disebabkan akad nikah pada perkawinan yang dimaksud telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan. Mengenai ijab dan qobul yang tidak dilakukan dalam satu majelis secara fisik mennurt ahli fiqih yaitu Hambali, Hanafi dan Maliki seperti dijelaskan di atas. Seperti halnya kaidah fiqliyah “al mashaqhotu tajlibultaishiiro” yang artinya kesukaran itu dapat menarik kemudahan.[3] Dari kaidah fiqliyah tersebut itu dapat ditarik kesimpulan dapa memberikan rukhshah (keringanan) dalam  permasalahan ini. 
Namun demikian, pelaksanaan akad via telepon  tersebut hendaknya juga jangan dilandasi oleh helah atu untuk gagah-gagahan apalagi untuk mencari sensasi atau popularitas, sebab hal itu mengarah kepada ria dan sum’ah, yang keduanya dilarang oleh agama. Pelaksaan akad nikah via telepon hendaknya dilakukan karena adanya sebab-sebab khusus yang mengarah kepada kesulitan atau darurat. Misalnya dalam keadaan terpaksa dimana masing-masing tinggal ditempat yang berjauhan yang tidak mungkin untuk bertemu dalam satu majelis.[4]

Refensi:
Rokamah, Ridho.  Al-qowa’id al-fiqhiyah. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010.
Sudrajat, Ajat. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
Saebani, Beni Ahmad.  Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.



[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 200-201.
[2] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), 92.
[3] Ridho Rokamah, al-qowa’id al-fiqhiyah (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010), 47.
[4] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual, 93.

Kamis, 05 April 2012

PROSEDUR PENELITIAN HISTORI


A.    Prosedur Penalitian Histori
Seperti prosedur yang dilalui penelitian jenis lain, langkah-langkah pokok yang dilakukan peneli adalah: merumuskan problematika atau pertanyaan penelitian, menelaah sumber yang mengandung fakta sejarah, mengambil kesimpulan dan menghubungkan, merangkum serta menafsirkan fakta-fakta sejarah seperti yang dikerjakan oleh peneliti-peneliti lain. Seorang sejarawan terkenal yang bernama Edward Carr telah menyingkat prosedur penelitian historik hanya menjadi dua langkah saja yaitu:
1.      Membaca sumber-sumber dokumen sambil menuliskan hal-hal ditemukan di dalam cacatan.
2.      Menyingkirkan sumber-sumber yang telah selesai di baca dan diambil hal-hal yang penting kemudian memusatkan perhatiannya pada penulisan kembali apa yang diketahui dari awal sampai akhir.
Bog dan Gall tidak menyetujui langkah yang telah dikatakan oleh Edward Carr tersebut. Kedua ahli ini berpendapat bahwa begitu sejarawan memegang dan mendalami sumber, langsung saja mulai menulis, tidak harus mulai urut dari depan tetapi bagian mana saja yang dipandang penting oleh penulis. Dengan demikian membaca dan menulis bukan pekerjaan yang terpisah tetapi berlangsung secara serentak.[1]
Proses yang dilalui dalam penelitian historik yang tidak kaku ini nampaknya dari luar seolah-olah tidak ketat dan boleh menurut selera peneliti sendiri. Dugaan seperti itu tidak benar. Urutan kerja tetap diperlukan didalam memandu kegiatan penelitian. Variasi dari latar langkah-langkah memang dapat saja terjadi tergantung dari latar belakang kemampuan peneliti histori yang bersangkutan.
a.      Merumuskan problematika
Ada beberapa topik menarik dalam bidang pendidikan yang pantas digarap dalam penelitian historik. Di dalam survai sejarah di bidang pendidikan Mark Beach telah menganalisis problematika dan topik-topik di dalam penelitian sejarah menjadi lima tipe:
1)      Tipe pertama mamandang isu-isu sosial sebagai isu yang paling popular. Sebagai contoh adalah masalah pendidikan dipedesaan, upaya untuk mengadakan perombakan dalam dunia pendidikan, dan berbagai masalah tes intelegensi.
2)      Tipe problematika kedua adalah hal-hal yang berhubungan dengan sejarah individu misalnya biografi. Penelitian tipe ini biasanya didorong oleh keinginan sederhana untuk mempeoleh pengetahuan tentang gejala yang tidak menjadi perhatian umum.
3)      Tipe ketiga menyangkut upaya untuk mengadakan interprestasi ide atau kejadian yang nampaknya tidak berhubungan satu sama lain. Sebagai contoh adalah penerbitan berbagai buku pelajaran atau kurikulum berbagai jenis dan tingkat sekolah yang dimasudkan misalnya untuk menyelidiki perkembangan kurikulum dari masa ke masa.
4)      Tipe keempat adalah problematika yang berhubungan dengan minat peneliti untuk mensintesekan (memperpadukan) data lama menjadi fakta-fakta sejarah yang baru.
5)      Tipe problematika yang kelima yaitu mengadakan interpretasi (penafsiran) ulang bagi kejadian-kejadian masa lampau yang telah diinterpretasikan oleh sejarawan lain. Hasil interpretasi ulang seperti yang dikenal dengan sebutan: perevisi sejarah (revisionist history) yang oleh pelakunya dimaksudkan untuk merevisi sejarah-sejarah yang ada ke dalam kerangka interpretasi baru.

b.      Menelaah sumber-sumber sejarah
Sebenarnya bukan hanya rekaman yang berupa bahan tertulis saja yang dapat dipandang sebagai sumber sejarah. Secara garis besar sember-sumber sejarah dapat diklarifikasikan menjadi empat tipe sumber, yaitu: dokumen, rekaman kuantitatif, rekaman oral (lisan) dan peninggalan-peninggalan.
1)      Dukumen, bahan tertulis atau bahan cetakan merupakan sesuatu yang paling umum digunakan sebagai sumber sejarah. Bahan-bahan ini dapat berupa: buku harian, rekaman resmi, memorandum, buku tahunan, surat kabar, majalah arsip dan sebagainya. 
2)      Rekaman kuantitatif dapat dikatakan bagian dari dokumen. Rekaman sensus penduduk, anggaran, sekolah, daftar hadir siswa, daftar nilai dan kumpulan rekaman yang berupa angka-angka merupakan bahan yang sangat berguna bagi peneliti sejarah.
3)      Bahan sejarah lain yang juga bermanfaat adalah berbagai rekaman bahasa lisan seperti dongeng, syair dan bentuk-bentuk rekaman lisan yang lain. Ahli-ahli sejarah sering kali melakukan wawancara dengan orang-orang yang dapat dipandang sebagai saksi mengenai peristiwa penting yang terjadi pada masa sebelumnya.
4)      Peninggalan merupakan sumber sejarah keempat. Sumber jenis ini dapat berupa gedung, bangunan lain, relief, batu atau papan yang ditandatangani pada waktu pendirian suatu monumen, dan lain-lain bentuk.

Pemilihan bahan sebagai sumber penelitian historik biasanya didasarkan atas sifat sumber yang bersangkutan yang diklasifikasi sebagai sumber primer dan sumber sekunder. Yang dapat dikatakan sumber primer adalah segala sumber yang direkam oleh individu yang hadir pada waktu kejadian berlangsung, misalnya dokumen, barang peninggalan, kesaksin lesan.  Sedangkan sumber sekunder adalah sumber yang direkam oleh orang   yang mendapat cerita dari orang yang mengalami peristiwa tentang hal yang dimaksud.[2]
Penulis sumber sekunder bukanlah orang yang menyaksikan sendiri peristiwanya, melainkan semata-mata melaporkan apa yang dituturkan atau ditulis oleh orang yang menyaksikan peristiwa itu. Untuk keperluan penelitian, sumber data sekunder agak lemah karena adanya kesalahan yang mungkin timbul sewaktu informasi ditularkan dari tangan ke tangan. Sebagian besar buku teks sejarah dan ensiklopedi adalah contoh sumber sekunder, karena ditulis beberapa lama setelah terjadinya peristiwa yang sebenarnya.[3]

c.       Merekam informasi dari sumber sejarah.
Pada waktu memilih sumber data primer dan sekunder sejarawan mungkin tidak tahu apakah pada waktu direkam sumber tersebut sengaja diperuntukkan bagi kajian masa mendatang ataukah tidak. Peneliti sejarah mungkin akan mengalami kesulitan apabila tidak berhasil memperoleh keterangan yang lebih rinci mengenai hal yang diragukan keaslian dan keauntentikannya.
Sebelum menentukan pencatatan informasi peneliti perlu melakukan dua hal. Pertama mereka harus meyakinkan apakah bahan yang akan dikaji dapat ditelusuri lebih lanjut. Mungkin saja bahan-bahan yang akan dikaji tersedia banyak tetapi tidak pasti bahwa ada orang yang akan dijadikan sumber bertanya jika peneliti tersebut memerlukan informasi lebih jauh.  Kedua, peneliti harus menyakinkan apakah hasil kajian dari sumber dapat ditulis dalam laporan penelitiannya. Hal kedua ini perlu dilakukan karena belum tentu semua informasi bersifat terbuka untuk umum. Laporan penelitian merupakan kepustakaan yang dapat dibaca oleh umum sebagai sumber pengetahuan baru. Kadang-kadang ada materi yang sifatnya rahasia disebabkan karena menyangkut pribadi atau kepentingan komersial. Instrument-instrumen terstandar boleh saja dikaji untuk kepentingan pengembangan ilmu. Akan tetapi karena bahan-bahan tersebut diperjualbelikan maka hanya hasil penelitian yang dapat diinformasikan kepada masyarakat, bahan yang akan dikaji tidak bebas publik.

d.      Mengevaluasi sumber-sumber sejarah
Dari peneliti sejarah dituntut adanya sikap super kritis. Bahan-bahan sejarah yang ada kadang-kadang nampak sangat tidak bermakna bagi orang awam. Dokumen, data kuantitatif dan peninggalan-peniggalan sejarah kadang merupakan sesuatu yang murni, unik, tetapi kadang-kadang sudah merupakan polesan. Rekaman yang berupa dokumen dapat saja ditulis oleh editor. Sumber sejarah mungkin menunjukkan pada kejadian yang tidak terjadi tetapi berbeda dengan deskripsi yang disampaikan oleh saksi mata. Masih banyak lagi ragam penyajian informasi yang terdapat di dalam sumber sejarah.
Terhadap sumber-sumber tersebut peneliti harus bersifat kritis dengan mengajukan pertanayaan-pertanyaan antara lain sebagai berikut: “Apakah dokumen ini ditulis oleh orang yang mengalami sendiri kejadiaannya?”. “Apakah latar belakang keahliaan penulis ini?”. “Apakah penulis ini imajinatif sehingga banyak perasaan yang masuk ke dalam tulisannya?”. Penelitian sejarah dapat dikatakan kritikus sejarah yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu kritikus eksternal dan kritikus internal.

e.  Menginterpretasi hasil evaluasi sumber sejarah
Dalam pembicaraan mengenai pengertian penelitian sejarah sudah dikemukakan bahwa ada dua macam sumber kerancuan yang dapat “mengotori” kegiatan penelitian jenis ini. Sumber pertama berasal dari penulis rekaman yang berupa nilai, latar belakang keahliaan, pribadi, pendapat, latar belakang pengalaman, latar belakang keahlian.  Atas dasar pengetahauan ini kepada para peneliti sejarah disarankan untuk selalu menyadari kelemahan-kelemahan tersebut agar dapat ditekan terjadinya keracuan menjadi sedikit mungkin.
“Presentism” merupakan kerancuan yang muncul dalam bentuk lain. Penelitian sejarah adalah penelitian yang mengandalkan pada kemampuan pelakunya dalam mengadakan interpretasi terhadap sumber yang dianalisis. Sejarah sendiri berarti “interpretasi”. Presentism adalah kecenderungan peneliti untuk menginterpretasikan kejadian lampau dengan mengunakan konsep-konsep dan pandangan yang berlaku pada popular saat penelitian dilakukan.
Apabila presentism banyak memasuki interpretasi peneliti maka hasil peneliti sejarah tersebut dapat dikatakan kurang ilmiah dibandingkan dengan peneliti-peneliti pendidikan jenis lain. Seperti telah umum diketahui oleh pembaca bahwa penelitian yang baik adalah jika hasilnya tidak menyimpang dari hasil orang lain yang melakukan uji ulang. Jika didalam pelaksanaan penelitian banyak kecenderungan yang muncul dari diri peneliti (dan tentu saja kencenderungan ini sifatnya individu) maka hasil uji ulang akan tidak sama dengan hasil penelitian pertama.[4]


[1] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, 334.
[2] Ibid, 335-338.
[3] John W. Best, Metodologi Penelitian dan Pendidikan  (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1982), 398.
[4] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, 335-340.

BENTUK-BENTUK PENELITIAN HISTORI


A.    Bentuk-bentuk Penelitian Histori
1.      Penelitian Komperatif-Historis
Perkatan komperatif menunjukkan bahwa penelitian ini bermaksud membanding-bandingkan tentang sesuatu sebagai kejadian atau peristiwa atau keadaan yang terjadi pada masa yang bersamaan atau berbeda waktunya. Apabila digunakan sebagai penelitian terapan, dimaksudkan dari kegiatan membandingkan itu, dapat dilakukan perbaikan terhadap sesuatu itu sebagai masalah. Perbaikan dilakukan dalam rangka meluruskan jalannya sejarah, dan mungkin pula berguna untuk kepentingan masa sekarang.
Misalnya penelitian penjajahan Belanda di Indonesia dengan penjajahan Inggris di Malaysia. Dari hasilnya diperoleh aspek-aspek yang mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan dan kehidupan kedua bangsa tersebut setelah merdeka. Disamping itu dapat ditemukan pula aspek-aspek yang berpengaruh negatif terhadap pemerintahan dan kehidupan bangsa kedua Negara itu setelah kemerdekaan. Dari hasil perbandingan itu dapat disusun saran tindakan agar tidak secara membabi buta membuang sesuatu yang baik untuk tetap dilaksanakan. Sebaliknya juga agar tidak melanjutkan segala sesuatu yang buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam alam kemerdekaan.

2.      Penelitian Yuridis (legal)
Penelitian terapan dengan bentuk ini, bermaksud untuk mengungkapkan berbagai kekurangan atau kelemahan suatu aspek kehidupan, yang diatur atau dikenal oleh ketentuan hukum tertentu pada masa lalu. Fokus penelitian diarahkan pada proses pembuatan dan pelaksanaan suatu produk hukum tertentu yang diperkirakan mengandung kekurangan, kesalahan atau kelemahan, sehingga menimbulkan masalah masa lalu dan berdampak pada masa sekarang.
Produk hukum yang diungkapkan adalah yang tertulis dan dibuat/diberlakukan secara resmi (legal) bagi suatu kelompok/lingkungan masyarakat tertentu. Produk hukum itu antara lain berupa UUD, Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (KEPRES), Keputusan Menteri, Ketetapan MPR-RI, dan lain-lain. Misalnya penelitian terapan tentang bidang moneter dan berbagai kebijaksanaan keuangan ppemerintah Orde Lama, untuk mengungkapkan berbagai kesalahan, dalam rangka menyusun saran-saran tindakan pemerintah Orde Baru, agar kondisi ekonomi yang pada masa itu telah berada di pinggir jurang kehancuran, tidak terulang kembali. Untuk itu dilakukan penelitian dengan metode histori terhadap produk hokum dan pelaksanaannya dimasa Orde Lama, melelui UU tentang APBN, Keputusan-keputusan Pinjaman Luar Negeri, dan lain-lain.

3.      Penelitian Bibliografis (Studi Kepustakaan)
Penelitian terapan dengan Metode Historis berbentuk studi bibliografis (kepustakaan), dilakukan dengan mempelajari berbagai karya tulis, seperti buku-buku, jurnal, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan lain-lain terbitan masa lalu, untuk merangkai saran-saran tindakan dalam mengatasi suatu masalah, yang terjadi pada masa sekarang dilingkungan tertentu.

4.      Penelitian Kronologis
Urutan kronologis pada dasarnya berarti rangkaian waktu yang teratur harri demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun. Semua aktifitas manusia dan kejadian-kejadian di dalm kehidupan manusia diseluruh permukaan bumi, tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya dengan waktu. Oleh karena itu setiap kegiatan manusia dan kejadian atau peristiwa penting di muka bumi ini, selalu dapat dipelajari urutannya dan kesinambungannya berdasarkan waktu terjadinya.
Kegiatan, kejadian atau peristiwa memang terikat juga pada tempat, namun setiap tempat dari segi waktu memiliki urutan kronologis masing-masing. Pada masa yang sama ditempat yang berbeda, mungkin saja ada kegiatan, kejadian atau peristiwa yang saling berhubungan. Disamping itu bahkan kegiatan, kejadian atau peristiwa yang ada hubungannya, mungkin saja terjadi pada tempat dan waktu yang berbeda.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, diperlukan ketelitian dan kecermatan yang tinggi dalam melaksanakan bentuk penelitian kronologis sebagai bagian metode historis. Penggunaannya sebagai penelitian terapan, sering sulit menemukan pemecahan masalah, hanya karena peneliti tidak melihat hubungan antarkegiatan, kejadian atau peristiwa didua atau lebih tempat, baik pada waktu yang sama maupun berbeda. Prinsip pokok penelitian bentuk ini adalah cara mengungkapkan data/informasi didalam kegiatan, kejadian atau peristiwa, dilakukan menurut urutan waktu atau secara kronologis. Dengan kata lain data/informasi yang peling tua dihimpun dengan bergeser sampai pada yang mendekati masa sekarang. Dari pengumpulan data /informasi yang relevan dengan masalah penelitian secara kronologis, diusahakan untuk menemukan pada urutan yang mana sebab yang menimbulkan masalah pada obyek penelitian.[1]


[1] Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 1996), 210-224.

PENGERTIAN PENELITIAN HISTORIK


A.    Pengertian Penelitian Historik atau Sejarah
Sejarah adalah “rekaman” prestastasi manusia.[1] Secara umum dapat dimengerti bahwa penelitian historik merupakan penelaahan dokumen serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis.[2] Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa, waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong objek-objek yang diobservasi.[3]
Menurut Jack. R. Fraenkel & Norman E. Wallen, penelitian sejarah adalah penelitian yang secara eksklusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini mencoba merenkonstruksi apa yang terjadi pada masa yang lalu selengkap dan seakurat mungkin, dan biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi.
Dalam mencari data dilakukan secara sistematis agar mampu menggambarkan, menjelaskan, dan memahami kegiatan atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu.[4]
Pendekatan produk masa lalu itu dapat dilakukan dengan dua pendekatan:
1.      Pendekatan Obyektif: si peneliti menepatkan dirinya di masa lalu dan memahaminya menurut konsep masaa lalu itu.
2.      Pendekatan Subyektif: si peneliti memahami masa lalu itu menurut setting masa kini.[5]
Dengan mempelajari sesuatu yang telah lampau para sejarawan pendidik berharap dapat memahami keadaan, praktek pendidikan dengan lebih baik dan selanjutnya dapat memecahkan permasalahan yang timbul dengan mangacu pada permasalahan lama.  Oleh Edward Carr dikatakan bahwa sejarah merupakan proses interaksi yang tidak henti-hentinya antara sejarawan dengan fakta dan merupakan pula diaolog yang tidak pernah berakhir antara masa sekarang dengan masa lampau.[6]
Penelitian historik menitikberatkan kegiatannya pada upaya menelaah dokumen hasil rekaman para ahli berbagai bidang seperti jurnalistik, ahli hukum, kedokteran, penulis buku harian, ahli fotografi dan ahli-ahli lain yang kadang-kadang bidang keahliaanya dan profesinya tidak dapat dipahami oleh sejarawan. Didalam menuliskan dokumennya tidak mustahil bahwa para ahli tersebut telah memasukkan kerancuanya yang berupa nilai, pendapat minat dan perhatiaanya. Dengan demikian, fakta yang sebenarnya dapat saja sudah ditambah atau dikurangi berdasarkan atas latar belakang pribadinya.

B.     Ciri-ciri Metode Historik
1.      Peristiwa historik lebih tergantung pada data yang diobservasi orang lain dari pada oleh peneliti sendiri. Metode sejarah ini lebih banyak menggantungkan diri dari yang diamati orang lain pada masa lampau.
2.      Penelitian historik tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu si peneliti (penulis) secara langsung melakukan observasi atau penyaksian kejadian-kejadian yang dituliskan. Data sekunder diperoleh dari sumber sekunder, yaitu peneliti melaporkan hasil observasi orang lain yang satu kali atau lebih yang telah lepas dari kejadian aslinya.
3.      Untuk melakukan bobot data, biasa dilakukan dua macam kritik, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
4.      Walaupun penelitian historik mirip dengan penelaahan kepustakaaan yang mendahului lain-lain bentuk rancangan penelitian, namun cara pendekatan historik ini adalah lebih tuntas, mencari informasi dari sumber yang lebih luas. “Penelitian historik” juga menggali informasi-informasi yang lebih tua daripada yang umum dituntut dalam penelaahan kepustakaan, dan banyak juga menggali bahan-bahan tak diterbitkan yang tak dikutip dalam acuan yang standard.[7]


[1] John W. Best, Metodologi Penelitian dan Pendidikan  (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1982), 398.
[2] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian  (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 332.

[4] Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 51.
[5] Aji Damanuri, Metodologi Penelitian Mu’amalah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2010), 47.
[6] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 332.
[7] Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) 16-17. 

PENGANALOGIAN ZAKAT PROFESI

A.    Pengertian Profesi dan Zakat Profesi
Didalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan sebagainya) tertentu. Sedangkan menurut Fachrudin, Profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relative banyak dengan cara yang mudah, baik melalui keahlian tertentu atau tidak. [1]
Sementara itu Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa di antara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama. Yang dilakukan sendiri, misalnya profesi dokter, arsitek, ahli hokum, penjahit, pelukis dan lain sebagainya. Yang dilakukan bersama-sama, misalnya pegawai (pemerintah maupun swasta) dengan menggunakan sitem upah atau gaji. [2]. Dari definisi di atas jelas ada point-point yang perlu digaris bawahi berkaitan dengan pekerja profesi yang dimaksud, yaitu:
1.      Jenis usahanya halal;
2.      Menghasilkan uang relative banyak;
3.      Diperoleh dengan cara Mudah;
4.      Melalui suatu keahlian tertentu.
Dengan demikian, dari definisi tersebut diatas maka diperoleh rumusan, zakat profesi adalah zakat zakat yang dikeluarkan dari penghasilan usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relative banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu.[3]
B.     Nisab dan Pengeluaran Zakat Profesi
Islam tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau bayak, tetapi mewajibkan atas harta benda yang sampai nisab, bersih dari utang serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Dengan demikian, penghasilan yang telah mencapai nisab seperti gaji yang tinggi dan honorium yang besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sedangkan yang tidak mencapainya tidak wajib.
Mengenai besarnya nisab zakat penghasilan ini, terdapat perbedaan dikalangan ulama, karena tidak adanya dalil yang tegas tentang zakat profesi.
1.      Syaikh Muhammad al-Ghazali
Syaikh Muhammad al-Ghazali menganalogikan zakat profesi kepada zakat pertanian. Sehingga berlaku nisab pertanian (menurut Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1991: 750 kg beras), tetapi tidak berlaku haul. Zakat Profesi seperti zakat pertanian, dikeluarkan kapan saja kita memperoleh penghasilan (“keluarkan zakatnya pada saat menuainya”).  Bila pertanian menggunakan irigasi maka zakatnya 5%, dan bila pertanian itu mengambil air dari langit maka zakatnya 10%. Begitu juga dengan zakat profesi, apabila dipertolehnya dengan cara susah maka zakat 5% dan apabila diperoleh dengan cara mudah maka zakatnya sebanyak 10%.
Nisab zakat pertanian adalah 750 kg beras. Untuk mengetahui jumlah gaji karyawan ayang besarnya setara dengan zakat pertanian, maka harus dikonvermasikan dengan minimal beras dalam waktu dan wilayah setempat, menjadi :
750 kg x Rp. 7.000 = 5.250.000
Dengan demikian, apabila kita memperoleh penghasilan sejumlah itu, maka harus dikeluarkan zakatnya.    
2.      Yusuf Qardhawi dan Wahbah al-Zuhayly
Menurut Pendapat Yusuf Qardhawi dan Wahbah al-Zuhayly zakat dianalogikan sebagai emas dan perak. Maka nisabnya 85 gram emas. Menurutnya zakat profesi dikeluarkan pada waktu diterima. Dan besarnya zakat yang dikeluarkan 2,5%.
Contoh: 85 gram x Rp. 400.000 (harga emas sekarang) = Rp. 34.000.000
Dengan demikian, apabila kita memperoleh penghasilan sejumlah itu, maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari penghasilan kita setelah di potong biaya hidup, utang dan biaya lain-lain.
Akan tetapi, tidak semua orang memiliki profesi, dalam menerima teratur. Kadang-kadang setiap hari seperti pendapatan seorang dokter, kadang-kadang pada saat tertentu seperti seorang advokat atau kontraktor serta penjahit dan semacamnya. Maka, untuk menempatkan kewajiban zakatnya, dikemukakan oleh Qordhawi, ada dua kemungkinan:
a.       Memberlakukan nisab (85 gram emas) pada setiap jumlah penghasilan yang diterimanya. Maka, penghasilan yang mencapai/melebihi nisab seperti gaji yang tinggi dan honorium yang besar para pegawai, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada golongan profesi , wajib dikenakan zakat. Sedangkan yang tidak mencapai nisab tidak wajib.
b.      Mengumpulkan penghasilan berkali-kali itu dal;am waktu tertentu sampai mencapai nisab (85 gram emas), dengan syarat tidak melebihi batas haul (1 tahun). Akan tetapi, apabila setelah beberapa lama mengumpulkan dan belum mencapai nisab sampai telah melewati masa haul, bahkan mendekati haul berikutnya, berarti tidak wajib zakat. Karena dipandang penghasilanya masih kurang.

3.      Jalaluddin
Jalaluddin seorang pembaharu Islam memberikan argumennya yang sangat berharga bagi umat Islam. Beliau menganalogikan zakat profesi dengan zakat barang temuan(rikaz). Dan besarnya zakat yang dikeluarkan sebesar 20%. Mengenai cara mengeluarkan zakat 20% ini Jalaluddin memberikan contohnya:
a.       Bila seorang dokter spesialis dengan penghasilan 12 juta rupiah sebulan, sedang biaya hidup keluarga dan karyawannya serta lain-lain sebesar 2 juta, maka khumus (perlimaan/20%) dari sisa itu (10 juta) adalah 2 juta rupiah tanpa menunggu setahun.
b.      Kalau seorang dosen mendapatkan gaji bulannya Rp. 700. 000. Dipandang hanya cukup untuk membayar kebutuhan pokok sekeluarga, maka tidaklah terkena kewajiban khusmus. Kemudian apabila ia menulis buku dan mendapatkan royalty sebesar Rp. 6.000.000, setelah dibayarkan untuk ongkos beli kertas, tinta, printer dan transportasi ke penerbit, sisanya sebesar Rp. 4.500.000 maka khusmus-nya yang dikeluarkan sebesar Rp. 900.000. begitulah seterunya[4]


[1] Muhammad, Zakat Profesi, 58.
[2] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 93.
[3] Muhammad, Zakat Profesi, 58.
[4] Muhammad, Zakat Profesi, 64-72.