Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar...Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar....Nikmati hal-hal yang kecil, pada suatu hari anda mungkin akan melihat kebelakang dan menyadari bahwa itu adalah hal yang besar... Berbagi Tak Akan Rugi: April 2012
kumpulan gambar bergerak

Kamis, 05 April 2012

PROSEDUR PENELITIAN HISTORI


A.    Prosedur Penalitian Histori
Seperti prosedur yang dilalui penelitian jenis lain, langkah-langkah pokok yang dilakukan peneli adalah: merumuskan problematika atau pertanyaan penelitian, menelaah sumber yang mengandung fakta sejarah, mengambil kesimpulan dan menghubungkan, merangkum serta menafsirkan fakta-fakta sejarah seperti yang dikerjakan oleh peneliti-peneliti lain. Seorang sejarawan terkenal yang bernama Edward Carr telah menyingkat prosedur penelitian historik hanya menjadi dua langkah saja yaitu:
1.      Membaca sumber-sumber dokumen sambil menuliskan hal-hal ditemukan di dalam cacatan.
2.      Menyingkirkan sumber-sumber yang telah selesai di baca dan diambil hal-hal yang penting kemudian memusatkan perhatiannya pada penulisan kembali apa yang diketahui dari awal sampai akhir.
Bog dan Gall tidak menyetujui langkah yang telah dikatakan oleh Edward Carr tersebut. Kedua ahli ini berpendapat bahwa begitu sejarawan memegang dan mendalami sumber, langsung saja mulai menulis, tidak harus mulai urut dari depan tetapi bagian mana saja yang dipandang penting oleh penulis. Dengan demikian membaca dan menulis bukan pekerjaan yang terpisah tetapi berlangsung secara serentak.[1]
Proses yang dilalui dalam penelitian historik yang tidak kaku ini nampaknya dari luar seolah-olah tidak ketat dan boleh menurut selera peneliti sendiri. Dugaan seperti itu tidak benar. Urutan kerja tetap diperlukan didalam memandu kegiatan penelitian. Variasi dari latar langkah-langkah memang dapat saja terjadi tergantung dari latar belakang kemampuan peneliti histori yang bersangkutan.
a.      Merumuskan problematika
Ada beberapa topik menarik dalam bidang pendidikan yang pantas digarap dalam penelitian historik. Di dalam survai sejarah di bidang pendidikan Mark Beach telah menganalisis problematika dan topik-topik di dalam penelitian sejarah menjadi lima tipe:
1)      Tipe pertama mamandang isu-isu sosial sebagai isu yang paling popular. Sebagai contoh adalah masalah pendidikan dipedesaan, upaya untuk mengadakan perombakan dalam dunia pendidikan, dan berbagai masalah tes intelegensi.
2)      Tipe problematika kedua adalah hal-hal yang berhubungan dengan sejarah individu misalnya biografi. Penelitian tipe ini biasanya didorong oleh keinginan sederhana untuk mempeoleh pengetahuan tentang gejala yang tidak menjadi perhatian umum.
3)      Tipe ketiga menyangkut upaya untuk mengadakan interprestasi ide atau kejadian yang nampaknya tidak berhubungan satu sama lain. Sebagai contoh adalah penerbitan berbagai buku pelajaran atau kurikulum berbagai jenis dan tingkat sekolah yang dimasudkan misalnya untuk menyelidiki perkembangan kurikulum dari masa ke masa.
4)      Tipe keempat adalah problematika yang berhubungan dengan minat peneliti untuk mensintesekan (memperpadukan) data lama menjadi fakta-fakta sejarah yang baru.
5)      Tipe problematika yang kelima yaitu mengadakan interpretasi (penafsiran) ulang bagi kejadian-kejadian masa lampau yang telah diinterpretasikan oleh sejarawan lain. Hasil interpretasi ulang seperti yang dikenal dengan sebutan: perevisi sejarah (revisionist history) yang oleh pelakunya dimaksudkan untuk merevisi sejarah-sejarah yang ada ke dalam kerangka interpretasi baru.

b.      Menelaah sumber-sumber sejarah
Sebenarnya bukan hanya rekaman yang berupa bahan tertulis saja yang dapat dipandang sebagai sumber sejarah. Secara garis besar sember-sumber sejarah dapat diklarifikasikan menjadi empat tipe sumber, yaitu: dokumen, rekaman kuantitatif, rekaman oral (lisan) dan peninggalan-peninggalan.
1)      Dukumen, bahan tertulis atau bahan cetakan merupakan sesuatu yang paling umum digunakan sebagai sumber sejarah. Bahan-bahan ini dapat berupa: buku harian, rekaman resmi, memorandum, buku tahunan, surat kabar, majalah arsip dan sebagainya. 
2)      Rekaman kuantitatif dapat dikatakan bagian dari dokumen. Rekaman sensus penduduk, anggaran, sekolah, daftar hadir siswa, daftar nilai dan kumpulan rekaman yang berupa angka-angka merupakan bahan yang sangat berguna bagi peneliti sejarah.
3)      Bahan sejarah lain yang juga bermanfaat adalah berbagai rekaman bahasa lisan seperti dongeng, syair dan bentuk-bentuk rekaman lisan yang lain. Ahli-ahli sejarah sering kali melakukan wawancara dengan orang-orang yang dapat dipandang sebagai saksi mengenai peristiwa penting yang terjadi pada masa sebelumnya.
4)      Peninggalan merupakan sumber sejarah keempat. Sumber jenis ini dapat berupa gedung, bangunan lain, relief, batu atau papan yang ditandatangani pada waktu pendirian suatu monumen, dan lain-lain bentuk.

Pemilihan bahan sebagai sumber penelitian historik biasanya didasarkan atas sifat sumber yang bersangkutan yang diklasifikasi sebagai sumber primer dan sumber sekunder. Yang dapat dikatakan sumber primer adalah segala sumber yang direkam oleh individu yang hadir pada waktu kejadian berlangsung, misalnya dokumen, barang peninggalan, kesaksin lesan.  Sedangkan sumber sekunder adalah sumber yang direkam oleh orang   yang mendapat cerita dari orang yang mengalami peristiwa tentang hal yang dimaksud.[2]
Penulis sumber sekunder bukanlah orang yang menyaksikan sendiri peristiwanya, melainkan semata-mata melaporkan apa yang dituturkan atau ditulis oleh orang yang menyaksikan peristiwa itu. Untuk keperluan penelitian, sumber data sekunder agak lemah karena adanya kesalahan yang mungkin timbul sewaktu informasi ditularkan dari tangan ke tangan. Sebagian besar buku teks sejarah dan ensiklopedi adalah contoh sumber sekunder, karena ditulis beberapa lama setelah terjadinya peristiwa yang sebenarnya.[3]

c.       Merekam informasi dari sumber sejarah.
Pada waktu memilih sumber data primer dan sekunder sejarawan mungkin tidak tahu apakah pada waktu direkam sumber tersebut sengaja diperuntukkan bagi kajian masa mendatang ataukah tidak. Peneliti sejarah mungkin akan mengalami kesulitan apabila tidak berhasil memperoleh keterangan yang lebih rinci mengenai hal yang diragukan keaslian dan keauntentikannya.
Sebelum menentukan pencatatan informasi peneliti perlu melakukan dua hal. Pertama mereka harus meyakinkan apakah bahan yang akan dikaji dapat ditelusuri lebih lanjut. Mungkin saja bahan-bahan yang akan dikaji tersedia banyak tetapi tidak pasti bahwa ada orang yang akan dijadikan sumber bertanya jika peneliti tersebut memerlukan informasi lebih jauh.  Kedua, peneliti harus menyakinkan apakah hasil kajian dari sumber dapat ditulis dalam laporan penelitiannya. Hal kedua ini perlu dilakukan karena belum tentu semua informasi bersifat terbuka untuk umum. Laporan penelitian merupakan kepustakaan yang dapat dibaca oleh umum sebagai sumber pengetahuan baru. Kadang-kadang ada materi yang sifatnya rahasia disebabkan karena menyangkut pribadi atau kepentingan komersial. Instrument-instrumen terstandar boleh saja dikaji untuk kepentingan pengembangan ilmu. Akan tetapi karena bahan-bahan tersebut diperjualbelikan maka hanya hasil penelitian yang dapat diinformasikan kepada masyarakat, bahan yang akan dikaji tidak bebas publik.

d.      Mengevaluasi sumber-sumber sejarah
Dari peneliti sejarah dituntut adanya sikap super kritis. Bahan-bahan sejarah yang ada kadang-kadang nampak sangat tidak bermakna bagi orang awam. Dokumen, data kuantitatif dan peninggalan-peniggalan sejarah kadang merupakan sesuatu yang murni, unik, tetapi kadang-kadang sudah merupakan polesan. Rekaman yang berupa dokumen dapat saja ditulis oleh editor. Sumber sejarah mungkin menunjukkan pada kejadian yang tidak terjadi tetapi berbeda dengan deskripsi yang disampaikan oleh saksi mata. Masih banyak lagi ragam penyajian informasi yang terdapat di dalam sumber sejarah.
Terhadap sumber-sumber tersebut peneliti harus bersifat kritis dengan mengajukan pertanayaan-pertanyaan antara lain sebagai berikut: “Apakah dokumen ini ditulis oleh orang yang mengalami sendiri kejadiaannya?”. “Apakah latar belakang keahliaan penulis ini?”. “Apakah penulis ini imajinatif sehingga banyak perasaan yang masuk ke dalam tulisannya?”. Penelitian sejarah dapat dikatakan kritikus sejarah yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu kritikus eksternal dan kritikus internal.

e.  Menginterpretasi hasil evaluasi sumber sejarah
Dalam pembicaraan mengenai pengertian penelitian sejarah sudah dikemukakan bahwa ada dua macam sumber kerancuan yang dapat “mengotori” kegiatan penelitian jenis ini. Sumber pertama berasal dari penulis rekaman yang berupa nilai, latar belakang keahliaan, pribadi, pendapat, latar belakang pengalaman, latar belakang keahlian.  Atas dasar pengetahauan ini kepada para peneliti sejarah disarankan untuk selalu menyadari kelemahan-kelemahan tersebut agar dapat ditekan terjadinya keracuan menjadi sedikit mungkin.
“Presentism” merupakan kerancuan yang muncul dalam bentuk lain. Penelitian sejarah adalah penelitian yang mengandalkan pada kemampuan pelakunya dalam mengadakan interpretasi terhadap sumber yang dianalisis. Sejarah sendiri berarti “interpretasi”. Presentism adalah kecenderungan peneliti untuk menginterpretasikan kejadian lampau dengan mengunakan konsep-konsep dan pandangan yang berlaku pada popular saat penelitian dilakukan.
Apabila presentism banyak memasuki interpretasi peneliti maka hasil peneliti sejarah tersebut dapat dikatakan kurang ilmiah dibandingkan dengan peneliti-peneliti pendidikan jenis lain. Seperti telah umum diketahui oleh pembaca bahwa penelitian yang baik adalah jika hasilnya tidak menyimpang dari hasil orang lain yang melakukan uji ulang. Jika didalam pelaksanaan penelitian banyak kecenderungan yang muncul dari diri peneliti (dan tentu saja kencenderungan ini sifatnya individu) maka hasil uji ulang akan tidak sama dengan hasil penelitian pertama.[4]


[1] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, 334.
[2] Ibid, 335-338.
[3] John W. Best, Metodologi Penelitian dan Pendidikan  (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1982), 398.
[4] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, 335-340.

BENTUK-BENTUK PENELITIAN HISTORI


A.    Bentuk-bentuk Penelitian Histori
1.      Penelitian Komperatif-Historis
Perkatan komperatif menunjukkan bahwa penelitian ini bermaksud membanding-bandingkan tentang sesuatu sebagai kejadian atau peristiwa atau keadaan yang terjadi pada masa yang bersamaan atau berbeda waktunya. Apabila digunakan sebagai penelitian terapan, dimaksudkan dari kegiatan membandingkan itu, dapat dilakukan perbaikan terhadap sesuatu itu sebagai masalah. Perbaikan dilakukan dalam rangka meluruskan jalannya sejarah, dan mungkin pula berguna untuk kepentingan masa sekarang.
Misalnya penelitian penjajahan Belanda di Indonesia dengan penjajahan Inggris di Malaysia. Dari hasilnya diperoleh aspek-aspek yang mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan dan kehidupan kedua bangsa tersebut setelah merdeka. Disamping itu dapat ditemukan pula aspek-aspek yang berpengaruh negatif terhadap pemerintahan dan kehidupan bangsa kedua Negara itu setelah kemerdekaan. Dari hasil perbandingan itu dapat disusun saran tindakan agar tidak secara membabi buta membuang sesuatu yang baik untuk tetap dilaksanakan. Sebaliknya juga agar tidak melanjutkan segala sesuatu yang buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam alam kemerdekaan.

2.      Penelitian Yuridis (legal)
Penelitian terapan dengan bentuk ini, bermaksud untuk mengungkapkan berbagai kekurangan atau kelemahan suatu aspek kehidupan, yang diatur atau dikenal oleh ketentuan hukum tertentu pada masa lalu. Fokus penelitian diarahkan pada proses pembuatan dan pelaksanaan suatu produk hukum tertentu yang diperkirakan mengandung kekurangan, kesalahan atau kelemahan, sehingga menimbulkan masalah masa lalu dan berdampak pada masa sekarang.
Produk hukum yang diungkapkan adalah yang tertulis dan dibuat/diberlakukan secara resmi (legal) bagi suatu kelompok/lingkungan masyarakat tertentu. Produk hukum itu antara lain berupa UUD, Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (KEPRES), Keputusan Menteri, Ketetapan MPR-RI, dan lain-lain. Misalnya penelitian terapan tentang bidang moneter dan berbagai kebijaksanaan keuangan ppemerintah Orde Lama, untuk mengungkapkan berbagai kesalahan, dalam rangka menyusun saran-saran tindakan pemerintah Orde Baru, agar kondisi ekonomi yang pada masa itu telah berada di pinggir jurang kehancuran, tidak terulang kembali. Untuk itu dilakukan penelitian dengan metode histori terhadap produk hokum dan pelaksanaannya dimasa Orde Lama, melelui UU tentang APBN, Keputusan-keputusan Pinjaman Luar Negeri, dan lain-lain.

3.      Penelitian Bibliografis (Studi Kepustakaan)
Penelitian terapan dengan Metode Historis berbentuk studi bibliografis (kepustakaan), dilakukan dengan mempelajari berbagai karya tulis, seperti buku-buku, jurnal, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan lain-lain terbitan masa lalu, untuk merangkai saran-saran tindakan dalam mengatasi suatu masalah, yang terjadi pada masa sekarang dilingkungan tertentu.

4.      Penelitian Kronologis
Urutan kronologis pada dasarnya berarti rangkaian waktu yang teratur harri demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun. Semua aktifitas manusia dan kejadian-kejadian di dalm kehidupan manusia diseluruh permukaan bumi, tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya dengan waktu. Oleh karena itu setiap kegiatan manusia dan kejadian atau peristiwa penting di muka bumi ini, selalu dapat dipelajari urutannya dan kesinambungannya berdasarkan waktu terjadinya.
Kegiatan, kejadian atau peristiwa memang terikat juga pada tempat, namun setiap tempat dari segi waktu memiliki urutan kronologis masing-masing. Pada masa yang sama ditempat yang berbeda, mungkin saja ada kegiatan, kejadian atau peristiwa yang saling berhubungan. Disamping itu bahkan kegiatan, kejadian atau peristiwa yang ada hubungannya, mungkin saja terjadi pada tempat dan waktu yang berbeda.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, diperlukan ketelitian dan kecermatan yang tinggi dalam melaksanakan bentuk penelitian kronologis sebagai bagian metode historis. Penggunaannya sebagai penelitian terapan, sering sulit menemukan pemecahan masalah, hanya karena peneliti tidak melihat hubungan antarkegiatan, kejadian atau peristiwa didua atau lebih tempat, baik pada waktu yang sama maupun berbeda. Prinsip pokok penelitian bentuk ini adalah cara mengungkapkan data/informasi didalam kegiatan, kejadian atau peristiwa, dilakukan menurut urutan waktu atau secara kronologis. Dengan kata lain data/informasi yang peling tua dihimpun dengan bergeser sampai pada yang mendekati masa sekarang. Dari pengumpulan data /informasi yang relevan dengan masalah penelitian secara kronologis, diusahakan untuk menemukan pada urutan yang mana sebab yang menimbulkan masalah pada obyek penelitian.[1]


[1] Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 1996), 210-224.

PENGERTIAN PENELITIAN HISTORIK


A.    Pengertian Penelitian Historik atau Sejarah
Sejarah adalah “rekaman” prestastasi manusia.[1] Secara umum dapat dimengerti bahwa penelitian historik merupakan penelaahan dokumen serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis.[2] Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa, waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong objek-objek yang diobservasi.[3]
Menurut Jack. R. Fraenkel & Norman E. Wallen, penelitian sejarah adalah penelitian yang secara eksklusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini mencoba merenkonstruksi apa yang terjadi pada masa yang lalu selengkap dan seakurat mungkin, dan biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi.
Dalam mencari data dilakukan secara sistematis agar mampu menggambarkan, menjelaskan, dan memahami kegiatan atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu.[4]
Pendekatan produk masa lalu itu dapat dilakukan dengan dua pendekatan:
1.      Pendekatan Obyektif: si peneliti menepatkan dirinya di masa lalu dan memahaminya menurut konsep masaa lalu itu.
2.      Pendekatan Subyektif: si peneliti memahami masa lalu itu menurut setting masa kini.[5]
Dengan mempelajari sesuatu yang telah lampau para sejarawan pendidik berharap dapat memahami keadaan, praktek pendidikan dengan lebih baik dan selanjutnya dapat memecahkan permasalahan yang timbul dengan mangacu pada permasalahan lama.  Oleh Edward Carr dikatakan bahwa sejarah merupakan proses interaksi yang tidak henti-hentinya antara sejarawan dengan fakta dan merupakan pula diaolog yang tidak pernah berakhir antara masa sekarang dengan masa lampau.[6]
Penelitian historik menitikberatkan kegiatannya pada upaya menelaah dokumen hasil rekaman para ahli berbagai bidang seperti jurnalistik, ahli hukum, kedokteran, penulis buku harian, ahli fotografi dan ahli-ahli lain yang kadang-kadang bidang keahliaanya dan profesinya tidak dapat dipahami oleh sejarawan. Didalam menuliskan dokumennya tidak mustahil bahwa para ahli tersebut telah memasukkan kerancuanya yang berupa nilai, pendapat minat dan perhatiaanya. Dengan demikian, fakta yang sebenarnya dapat saja sudah ditambah atau dikurangi berdasarkan atas latar belakang pribadinya.

B.     Ciri-ciri Metode Historik
1.      Peristiwa historik lebih tergantung pada data yang diobservasi orang lain dari pada oleh peneliti sendiri. Metode sejarah ini lebih banyak menggantungkan diri dari yang diamati orang lain pada masa lampau.
2.      Penelitian historik tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu si peneliti (penulis) secara langsung melakukan observasi atau penyaksian kejadian-kejadian yang dituliskan. Data sekunder diperoleh dari sumber sekunder, yaitu peneliti melaporkan hasil observasi orang lain yang satu kali atau lebih yang telah lepas dari kejadian aslinya.
3.      Untuk melakukan bobot data, biasa dilakukan dua macam kritik, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
4.      Walaupun penelitian historik mirip dengan penelaahan kepustakaaan yang mendahului lain-lain bentuk rancangan penelitian, namun cara pendekatan historik ini adalah lebih tuntas, mencari informasi dari sumber yang lebih luas. “Penelitian historik” juga menggali informasi-informasi yang lebih tua daripada yang umum dituntut dalam penelaahan kepustakaan, dan banyak juga menggali bahan-bahan tak diterbitkan yang tak dikutip dalam acuan yang standard.[7]


[1] John W. Best, Metodologi Penelitian dan Pendidikan  (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1982), 398.
[2] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian  (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 332.

[4] Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 51.
[5] Aji Damanuri, Metodologi Penelitian Mu’amalah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2010), 47.
[6] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 332.
[7] Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) 16-17. 

PENGANALOGIAN ZAKAT PROFESI

A.    Pengertian Profesi dan Zakat Profesi
Didalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan sebagainya) tertentu. Sedangkan menurut Fachrudin, Profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relative banyak dengan cara yang mudah, baik melalui keahlian tertentu atau tidak. [1]
Sementara itu Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa di antara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama. Yang dilakukan sendiri, misalnya profesi dokter, arsitek, ahli hokum, penjahit, pelukis dan lain sebagainya. Yang dilakukan bersama-sama, misalnya pegawai (pemerintah maupun swasta) dengan menggunakan sitem upah atau gaji. [2]. Dari definisi di atas jelas ada point-point yang perlu digaris bawahi berkaitan dengan pekerja profesi yang dimaksud, yaitu:
1.      Jenis usahanya halal;
2.      Menghasilkan uang relative banyak;
3.      Diperoleh dengan cara Mudah;
4.      Melalui suatu keahlian tertentu.
Dengan demikian, dari definisi tersebut diatas maka diperoleh rumusan, zakat profesi adalah zakat zakat yang dikeluarkan dari penghasilan usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relative banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu.[3]
B.     Nisab dan Pengeluaran Zakat Profesi
Islam tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau bayak, tetapi mewajibkan atas harta benda yang sampai nisab, bersih dari utang serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Dengan demikian, penghasilan yang telah mencapai nisab seperti gaji yang tinggi dan honorium yang besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sedangkan yang tidak mencapainya tidak wajib.
Mengenai besarnya nisab zakat penghasilan ini, terdapat perbedaan dikalangan ulama, karena tidak adanya dalil yang tegas tentang zakat profesi.
1.      Syaikh Muhammad al-Ghazali
Syaikh Muhammad al-Ghazali menganalogikan zakat profesi kepada zakat pertanian. Sehingga berlaku nisab pertanian (menurut Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1991: 750 kg beras), tetapi tidak berlaku haul. Zakat Profesi seperti zakat pertanian, dikeluarkan kapan saja kita memperoleh penghasilan (“keluarkan zakatnya pada saat menuainya”).  Bila pertanian menggunakan irigasi maka zakatnya 5%, dan bila pertanian itu mengambil air dari langit maka zakatnya 10%. Begitu juga dengan zakat profesi, apabila dipertolehnya dengan cara susah maka zakat 5% dan apabila diperoleh dengan cara mudah maka zakatnya sebanyak 10%.
Nisab zakat pertanian adalah 750 kg beras. Untuk mengetahui jumlah gaji karyawan ayang besarnya setara dengan zakat pertanian, maka harus dikonvermasikan dengan minimal beras dalam waktu dan wilayah setempat, menjadi :
750 kg x Rp. 7.000 = 5.250.000
Dengan demikian, apabila kita memperoleh penghasilan sejumlah itu, maka harus dikeluarkan zakatnya.    
2.      Yusuf Qardhawi dan Wahbah al-Zuhayly
Menurut Pendapat Yusuf Qardhawi dan Wahbah al-Zuhayly zakat dianalogikan sebagai emas dan perak. Maka nisabnya 85 gram emas. Menurutnya zakat profesi dikeluarkan pada waktu diterima. Dan besarnya zakat yang dikeluarkan 2,5%.
Contoh: 85 gram x Rp. 400.000 (harga emas sekarang) = Rp. 34.000.000
Dengan demikian, apabila kita memperoleh penghasilan sejumlah itu, maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari penghasilan kita setelah di potong biaya hidup, utang dan biaya lain-lain.
Akan tetapi, tidak semua orang memiliki profesi, dalam menerima teratur. Kadang-kadang setiap hari seperti pendapatan seorang dokter, kadang-kadang pada saat tertentu seperti seorang advokat atau kontraktor serta penjahit dan semacamnya. Maka, untuk menempatkan kewajiban zakatnya, dikemukakan oleh Qordhawi, ada dua kemungkinan:
a.       Memberlakukan nisab (85 gram emas) pada setiap jumlah penghasilan yang diterimanya. Maka, penghasilan yang mencapai/melebihi nisab seperti gaji yang tinggi dan honorium yang besar para pegawai, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada golongan profesi , wajib dikenakan zakat. Sedangkan yang tidak mencapai nisab tidak wajib.
b.      Mengumpulkan penghasilan berkali-kali itu dal;am waktu tertentu sampai mencapai nisab (85 gram emas), dengan syarat tidak melebihi batas haul (1 tahun). Akan tetapi, apabila setelah beberapa lama mengumpulkan dan belum mencapai nisab sampai telah melewati masa haul, bahkan mendekati haul berikutnya, berarti tidak wajib zakat. Karena dipandang penghasilanya masih kurang.

3.      Jalaluddin
Jalaluddin seorang pembaharu Islam memberikan argumennya yang sangat berharga bagi umat Islam. Beliau menganalogikan zakat profesi dengan zakat barang temuan(rikaz). Dan besarnya zakat yang dikeluarkan sebesar 20%. Mengenai cara mengeluarkan zakat 20% ini Jalaluddin memberikan contohnya:
a.       Bila seorang dokter spesialis dengan penghasilan 12 juta rupiah sebulan, sedang biaya hidup keluarga dan karyawannya serta lain-lain sebesar 2 juta, maka khumus (perlimaan/20%) dari sisa itu (10 juta) adalah 2 juta rupiah tanpa menunggu setahun.
b.      Kalau seorang dosen mendapatkan gaji bulannya Rp. 700. 000. Dipandang hanya cukup untuk membayar kebutuhan pokok sekeluarga, maka tidaklah terkena kewajiban khusmus. Kemudian apabila ia menulis buku dan mendapatkan royalty sebesar Rp. 6.000.000, setelah dibayarkan untuk ongkos beli kertas, tinta, printer dan transportasi ke penerbit, sisanya sebesar Rp. 4.500.000 maka khusmus-nya yang dikeluarkan sebesar Rp. 900.000. begitulah seterunya[4]


[1] Muhammad, Zakat Profesi, 58.
[2] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 93.
[3] Muhammad, Zakat Profesi, 58.
[4] Muhammad, Zakat Profesi, 64-72.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)


Rangkuman Sekilas UU No 23 Tahun 2011.
A.     BAZNAS
Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. BAZNAS berkedudukan di ibu kota negara. BAZNAS tersebut menyelenggarakan fungsi:
a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
B.      Keanggotaan BAZNAS
Keanggotaan BAZNAS terdiri atas 11 orang anggota. Anggota tersebut terdiri atas 8 (delapan) orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam. Sedangkan dari unsur Pemerintah ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat. Dalam masa kerjanya anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri. Dalam anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Mengenai Ketua dan Wakil Ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.
C.      BAZNAS Provinsi Dan BAZNAS Kabupaten/Kota
BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan dari BAZNAS. BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan tugas dan fungsi BAZNAS di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk (Unit Pengumpulan Zakat) UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.
D.     Lembaga Amil Zakat
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
E.      PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN, PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN.
1.      Pengumpulan
Dalam rangka pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya. Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki dapat meminta bantuan BAZNAS. Bukti setoran zakat dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
2.      Pendistribusian
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai syariat Islam. Pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
3.       Pendayagunaan
Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. Pendayagunaan tersebut dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.

F.       Pengelolaan Infak, Sedekah, dan Dana Sosial keagamaan Lainnya
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana social keagamaan lainnya. Pengelolaan infak, sedekah, dan dana social keagamaan lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri.
G.      Pelaporan
BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi dan pemerintah daerah secara berkala. BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
Sedangkan LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana social keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
Jika BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara berkala.